Senin, 17 Oktober 2022

ulos

 

Ulos atau sering juga disebut kain ulos adalah salah satu busana khas Indonesia. Ulos secara turun temurun dikembangkan oleh masyarakat batak sumatra utara Dari bahasa asalnya, ulos berarti kain. Cara membuat ulos serupa dengan cara membuat songket khas palembang, yaitu menggunakan alat tenun bukan mesin.

Warna dominan pada ulos adalah merah,haitam, dan putih yang dihiasi oleh ragam tenunan dari benang emas atau perak. Mulanya ulos dikenakan di dalam bentuk selendang atau sarung saja, kerap digunakan pada perhelatan resmi atau upacara adat Batak, tetapi kini banyak dijumpai di dalam bentuk produk suvenir, sarung bantal, ikat pinggang tas, alas meja, dasi,dompet dan gorden

Ulos juga kadang-kadang diberikan kepada sang ibu yang sedang mengandung supaya mempermudah lahirnya sang baayi ke dunia dan untuk melindungi ibu dari segala mara bahaya yang mengancam saat proses persalinan.

Sebagian besar ulos telah punah karena tidak diproduksi lagi, seperti Ulos Raja, Ulos Ragi Botik, Ulos Gobar, Ulos Saput (ulos yang digunakan sebagai pembungkus jenazah), dan Ulos Sibolang.

Arti Ulos

Pengrajin ulos di Desa Huta Raja sedang menenun.

Mangulosi adalah suatu kegiatan adat yang sangat penting bagi orang batak. Dalam setiap kegiatan seperti upacara pernikahan, kelahiran, dan dukacita, ulos selalu menjadi bagian adat yang selalu diikutsertakan.

Menurut pemikiran moyang orang batak, salah satu unsur yang memberikan kehidupan bagi tubuh manusia adalah “kehangatan”. Mengingat orang-orang batak dahulu memilih hidup di dataran yang tinggi sehingga memiliki temperatur yang dingin.

Demikian juga dengan huta/kampung yang ada di daerah tapanuli umumnya dikelilingi dengan pepohonan bambu. Di mana memiliki kegunaan bukan hanya sebagai pagar untuk menjaga serangan musuh saja, tetapi juga menahan terjangan angin yang dapat membuat tubuh menggigil kedinginan.

Ada 3 hal yang di yakini moyang orang batak yang memberi kehidupan bagi tubuh manusia, yaitu: Darah, Nafas dan Kehangatan. Sehingga “rasa hangat” menjadi suatu kebutuhan yang setiap saat didambakan.

Ada 3 “sumber kehangatan” yang diyakini moyang orang batak yaitu: matahari, api dan ulos. Matahari terbit dan terbenam dengan sendirinya setiap saat. Api dapat dinyalakan setiap saat, tetapi tidak praktis digunakan untuk menghangatkan tubuh, misalnya besarnya api harus dijaga setiap saat sehingga tidur pun terganggu. Namun tidak begitu halnya dengan Ulos yang sangat praktis digunakan di mana saja dan kapan saja.

Ulos pun menjadi barang yang penting dan dibutuhkan semua orang kapan saja dan di mana saja. Hingga akhirnya karena ulos memiliki nilai yang tinggi di tengah-tengah masyarakat batak. Dibuatlah aturan penggunaan ulos yang dituangkan dalam aturan adat, antara lain:

  • Ulos hanya diberikan kepada kerabat yang di bawah kita. Misalnya Natoras tu ianakhon (orang tua kepada anak), hula-hula kepada boru, dll.
  • Ulos yang diberikan haruslah sesuai dengan kerabat yang akan diberi ulos. Misalnya Ragihotang diberikan untuk ulos kepada hela (menantu laki-laki).

Sedangkan menurut penggunaanya antara lain:

  • Siabithonon (dipakai ke tubuh menjadi baju atau sarung) digunakan ulos ragidup, sibolang, runjat, jobit dan lainnya.
  • Sihadanghononhon (diletakan di bahu) digunakan ulos Sirara, sumbat, bolean, mangiring dan lainnya.
  • Sitalitalihononhon (pengikat kepala) digunakan ulos tumtuman, mangiring, padang rusa dan lain-lain.

Saat ini kita tidak membutuhkan ulos sebagai penghangat tubuh pada saat tidur ataupun saat beraktivitas, karena ada berbagai alat dan bahan yang lebih maju untuk memberi kehangatan bagi tubuh pada saat berada dalam udara yang sangat dingin. Namun, Ulos sudah menjadi pelambang kehangatan yang sudah mengakar di dalam budaya batak.

Hal ini juga menjadi tantangan bagi budaya batak pada masa depan, karena cara pandang dan penghargaan anak-anak muda masa depan sangat berbeda dengan para orang tua yang sempat merasakan berharganya nilai ulos dalam kekerabatan. Akankah anak-anak kita memandang ulos seperti memandang “kain pada umumnya”, bahkan lebih parahnya setelah kain tersebut digunakan dalam acara adat yang melelahkan kemudian ulos tersebut tersimpan rapat dalam lemari saja.

Sangat berbeda “rasanya” dengan menggunakan setelan jas yang modis dan ingin menggunakannya lagi dan lagi begitu setiap saat.

Jangan-jangan yang terbayang dalam pikiran mereka saat melihat ulos yang tergolek dalam lemari adalah acara adat yang melelahkan, rumit adatnya, pusing karena tidak mengerti bahasa batak, malu karena tidak paham martutur (menempatkan diri dalam pertalian darah atau keturunan).

Akan sangat banyak tantangan masa depan yang akan menghimpit “niat maradat” bagi generasi muda masa depan. Seperti masalah keuangan, penggunaan waktu, perkembangan pola pikir praktis, berkurangnya “rajaparhata” (orang yang mengetahui adat dan dapat memandu kegiatan adat dari awal hingga akhir).


https://id.wikipedia.org pakaian adat ulos

Share:

0 komentar:

Posting Komentar